Rabu, 07 Mei 2014

Aspek Hukum Dalam Ekonomi

ANALISIS MENGENAI CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

Hj. MUSKIBAH, S.H., M.H.


ISI:III
1 ABSTRAK Secara faktual dalam kehidupan sehari-hari selalu terjadi atau timbul sengketa konsumen. Secara yuridis proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat ditempuh dengan menggunakan jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur non litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase. BPSK tidak dapat berperan aktif dalam penyelesaian sengketa konsumen, hal ini disebabkan substansi pengaturan, prosedur dan mekanisme penyelesaian sengketa banyak mengandung kelemahan dan saling bertentangan sehingga BPSK tidak dapat berperan banyak dalam penyelesaian sengketa konsumen, terutama yang menyangkut keberatan mengenai putusan konsiliasi atau mediasi, serta penetapan eksekusi sama sekali belum ada pengaturannya. Keywords: . Penyelesaian, Sengketa Konsumen.

I. Pendahuluan
Salah satu masalah yang mendasar dari Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) adalah ketentuan mengenai penyelesaian sengketa konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen, Pasal 45 Ayat (1) UUPK memberikan dua pilihan yaitu menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Apabila penyelesaian sengketa konsumen dilakukan di luar peradilan menurut Pasal 52 UUPK adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dengan cara melalui mediasi, arbitrase,dan konsiliasi.Gugatan yang sudah diajukan ke BPSK harus ditindaklanjuti oleh BPSK, dan BPSK wajib memberikan putusan. Putusan tersebut berdasarkan Pasal 56 Ayat (2) UUPK bersifat final dan mengikat, dengan kata lain tidak dapat dilakukan banding dan kasasi. Akan tetapi
berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UUPK terhadap putusan tersebut dapat dimintakan upaya hukum (keberatan) ke pengadilan Negeri.
Peluang mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada Pengadilan Negeri adalah bentuk campur tangan demikian besar dari lembaga peradilan umum terhadap penyelesaian sengketa melalui BPSK. Artinya kekuatan putusan dari BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan sehingga tidak benar-benar final. Sementara dalam praktek pengajuan keberatan atas putusan BPSK di pengadilan Negeri berlaku hukum secara perdata umum, sehingga menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.
Persoalan lainnya adalah dalam eksekusi terhadap putusan BPSK, agar mempunyai kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan eksekusi ke pengadilan, tetapi aturan mengenai tatacara permohonan eksekusi terhadap putusan BPSK tersebut belum ada.
Berdasarkan hal itu tulisan ini mencoba membahas, bagaimana substansi, dan proses mengenai penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK, guna mewujudkan optimalisasi perlindungan terhadap konsumen.

II. Perumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan upaya untuk mengoptimalisasikan perlindungan terhadap konsumen . Dengan demikian masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK.
2. Bagaimana substansi pengaturan mengenai peran dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen.

III.PEMBAHASAN
1. Proses Penyelesaian Sengketa
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat dipenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis barang dan/atau jasa sesuai dengan kemampuannya.
Di lain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian
standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen menegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain UUPK secara tegas telah memberikan jaminan perlindungan terhadap konsumen, jika konsumen dirugikan oleh pelaku usaha.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha,dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur nonlitigasi (tidak melalui pengadilan).Penyelesaian, melalui lembaga litigasi dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga,sehingga penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan juga tetap akan menjadi muara terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui kesepakatan2. Sebagai lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, BPSK dalam kewenangannya dapat menempuhnya dengan cara mediasi, konsiliasi atau arbitrase. UU perlindungan konsumen tidak mendefinisikan apa itu mediasi, konsiliasi atau arbitrase di bidang perlindungan konsumen. Hal ini kemudian dijelaskan lebih jauh dalam Keputusan Menperindag No. 350 Tahun 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK. Dalam Kepmen tersebut, mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Proses konsiliasi mirip dengan mediasi. Bedanya, dalam proses konsiliasi, BPSK hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa. Sementara arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.
Berdasarkan Hasil penelitian3, ada beberapa kendala utama yang dihadapi BPSK dalam mengimplementasikan UU perlindungan konsumen.
1. Kendala Kelembagaan.
2. Kendala Pendanaan.
3. Kendala Sumber Daya Manusia BPSK.
4. Kendala Peraturan.
5. Kendala Pembinaan dan Pengawasan, dan Rendahnya Koordinasi antara Aparat Penanggung Jawab.
6. Kendala Kurangnya Sosialisai Terhadap Kebijakan Perlindungan Konsumen.
7. Kendala Kurangnya Respon Masyarakat Terhadap UU Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK.
Menurut Susanti4: juga menyinggung problem yang muncul dalam eksekusi putusan BPSK. Berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UU Perlindungan Konsumen, putusan BPSK dari hasil konsilitasi, arbitrase,dan mediasi bersifat final dan mengikat.Final berarti dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para pihak. Prinsip res judicata pro vitatate habetur-suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum-dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Berdasarkan prinsip demikian, putusan BPSK mestinya harus dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Namun, coba bandingkan prinsip tersebut dengan Pasal 56 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen.Para pihak ternyata masih bias mengajukan ‘ keberatan’ ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan BPSK. Hal ini bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat. Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat eksekusi) ke pengadilan. Dalam praktek, tidak mungkin memintakan penetapan eksekusi karena belum ada peraturan atau petunjuk tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Perma No. I Tahun 2006 tentang cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK pada hakikatnya hanya mengatur mengenai pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Pasal 2 Perma ini menegaskan bahwa yang bias diajukan keberatan adalah terhadap putusan arbitrase BPSK. Sedangkan keberatan mengenai putusan konsiliasi atau mediasi, serta penetapan eksekusi sama sekali tidak diatur.
BPSK ini sebenarnya diadopsi dari model Small Claims Tribunal, dalam tatanan konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati.Potensi-potensi tersebut antara lain : BPSK menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simple dan fleksibel dengan mekanisme pengadilan yang dimiliki otoritas; perpaduan ketiga unsure yang seimbang (Konsumen,pelaku Usaha dan pemerintah) dalam BPSK merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi
sebagai “ Quasi Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan non ajudikasi); dan berdasarkan konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Jadi setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa.
Dalam kenyataannya BPSK hingga kini justru semakin kehilangan pamor. Masyarakat pada umumnya lebih familiar dengan LPKSM semacam YLKI dari pada BPSK. Di sisi lain Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kerap’kebanjiran’adauan dari konsumen. Atas aduan ini, YLKI biasanya memfasilitasi perdamaian antara pelaku usaha dan konsumen yang terkait. Pada prakteknya, dalam mendamaikan aduan konsumen ini, YLKI secara tidak langsung telah melakukan konsiliasi dan mediasi layaknya kewenangan BPSK. Dalam tahap konsiliasi ini, YLKI berusaha mempertemukan pelaku usaha dengan konsumen. Biasanya sengketa bias selesai di tahap ini. Jika konsiliasi ini gagal, YLKI masih bias menempuh langkah berikutnya, yaitu mediasi. Dalam tahap ini, YLKI memberikan nasihat kepada para pihak. Kalau perkaranya tidak terlalu rumit, biasanya juga berakhir di tahap mediasi ini. Tapi kalau tidak tercapai titik temu, akan direkomendasikannya ke BPSK6. Dalam konteks sengketa konsumen, kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari upaya perlindungan konsumen ketika sengketa dengan pelaku usaha. Pemerintah sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK sehingga benar-benar bisa menjadi optimal.Kesan umum yang nampak baik pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen. Diantara kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan kurang berperannya BPSK selama ini.
Selain hal tersebut diatas persyaratan bagi anggota BPSK yang diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat BPSK Nampak lebih mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun kompetensinya. Misalnya saja persyaratan pangkal/ golongan tertentu (minimal Pembina/Iva)bagi anggota BPSK dari unsur pemerintah seringkali mempersulit dalam pencarian dan perekrutan orang yang tepat. Pada umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan golongan pangkat tersebut telah menduduki jabatan yang penting. Establish dan tentunya’ amat sibuk’ dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan progresif di BPSK. Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan pengembangan BPSK.

DAFTAR PUSTAKA:
·         Ahmmmadi Miru dan Suratman Yodo, 2005. Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Wali, Jakarta.
·         Aries Kurniawan, 2008, Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas 6 Agustus 2008.
·         Al.Wisnubroto, 2009. Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas, Hukum Online.Com, 9 Mei 2009.
·         Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.

NAMA KELOMPOK:
1.      ANNISAA EL HUSNA A                (20212986)
2.      EKA ERNAWATI                           (22212401)
3.      FITRIYAH                                       (23212020)
4.      SYAHRUL RAMADHAN               (27212242)


KELAS 2EB12

Aspek Hukum Dalam Ekonomi

Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa Dibidang Ekonomi Dan Keuangan Diluar Pengadilan

Prof. Dr. Mariam Darus , S.H.

Isi: II

Kelebihan Lembaga Arbitrase
Pada umumnya lembaga ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan lainnya. Kelebihan tersebut adalah
1.       Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
2.       Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administratif;
3.       Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,pengalaman dan latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,jujur,dan adil;
4.       Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaran arbitrase.
Asas-Asas
Asas-asas dari arbitrase adalah sebagai berikut:
1.       Penyelesaian sengeketa diluar pengadilan;
2.       Kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Berdasarkan asas ini para pihak mengadakan kesepakatan tertulis (klausula arbitrase);
3.       Para pihak bebas menetukan hukum materiil , acara , tempat , jadwal pemeriksaan sengketa;
4.       Kekuatan meningkat perjanjian ( Pacta Sunt Servada);
5.       Ruang lingkup terlatak dalam bidang perdaganggan;
6.       Keputusan bersifat final dan binding ( tidak ada hak banding dan kasasi);
7.       Bersifat rahasia (confidensial)
8.       Proses cepat;
9.       Biaya murah;
10.   Para pihak bebas menentukan arbiter, jadual sidang;
11.   Putusan dapat dieksekusi;
12.   Keputusan arbitrase berkukuatan mutlak
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas dibidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata ( Reglement op de Rechtsvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang besifat internasional sudah merupakan kebutuhan condition sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Regelem Acara Perdata (Reglement op de Rechtsordering). Bertolak dari konsisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Rv baik, secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Kerangka UU Arbitrase dan APSU
Arbitrase yang diatur didalam UU Arbitrase dan APSU , mengandung ruang lingkup kerangka sebagai berikut :
Bab I :  Ketentuan umum
Bab II:  Mengatur menegenai alternative penyelesaian sengketa melalui acara musyawarah kedua belah pihak yang bersengketa. Alternative penyelesaian sengketa ( Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengeta atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli
Bab III: Memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar dari pada pihak bersengketa
Bab IV: Mengatur tata cara untuk berencana dihadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter mengambil putusan provisionil atau putusan sela, penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mengenai pendengaran saksi dan saksi ahli. Seperti halnya dengan keputusan pengadilan maka dalam putusan arbitrase juga sebagai kepala putusan harus mencantumkan “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Bab V:  Menentukan syarat lain yang berlaku mengenai arbitrase. Dalam bab ini diatur pula kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang arbiter,pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional dan peneolakan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir dan ketua pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui Arbitrase berlaurut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusan para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya banding kasasi maupun penijauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh maka undang-undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional
Bab VI: Menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam 1 paket agar undang-undang ini dapat dioprasionalkan sampai pelaksanaan keputusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara system hukum dibenarkan
Bab VII: Mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase.
Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal antara lain:
a)      Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b)      Setelah putusan diambil ditentukan dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yan dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada ketua pengadilan negeri dan terhadap putusan pengadilan negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke mahkamah agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Bab VIII:     Mengatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain   bahwa tugas Arbiter berkahir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau dan kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penujukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir
Bab IX:       Mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
Bab X:        Mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah dianjurkan, namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bab XI:       Menyebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini maka pasal 615 sampai dengan pasal 651 reglemen acara perdata dan pasal 377 reglemen dan pasal 705 reglemen acara untuk daerah luar pulau jawa dan Madura dinyatakan tidak berlaku lagi.

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UMUM (APSU)

I.                    DASAR HUKUM
APSU diatur didalam pasal 6 UU arbitrase dan APSU
II.                  Definisi
Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konisliasi atau penilaian ahli
    III.            Asas-asas
1.       Kebebasan berkontrak (mufakat)
APS dilakukan oleh para pihak didasarkan atas kesepakatan. Kesepakatan ini menujukan pada asas kebebasan berkontrak dimana pihak-pihak akan menyelesaikan sengketanya secara musyawarah.

2.       Itikad baik
Asas ini berperan sebagai perekat bagi para pihak untuk dapat membahas sengketa yang ada diantara mereka menurut kepatutan, terbuka dan kedua pihak bertujuan untuk tidak pergi ke pengadilan.

3.       Perjanjian mengikat (pacta sunt servanda)
4.       Putusan terakhir dan mengikat (final and banding)
5.       Pendaftaran
6.       Kerahasaiaan (cinfidensial)

Daftar pustaka:
·         Prof. Dr. Remy Sjahdeini S.H., Hukum Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti. 2002.    hlm. 151

Nama  Kelompok :
1.       Anissa El Husna
2.       Eka Ernawati
3.       Fitriyah
4.       Syahrul Ramadhan


Kelas : 2EB12

Aspek Hukum Dalam Ekonomi

BEBERAPA PEMIKIRAN MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA DIBIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN DILUAR PENGADILAN

Oleh; Prof. Dr. Mariam Darus, S.H.

Isi:I


II.                  Badan Penyehatan Perbankan Nasional (UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 jo. PP Nomor 17 Tahun 1999)
1.       Latar Belakang
Pada permulaan tahun 1991, beberapa Negara Asia mengalami krisis devisa perbankan, moneter, dan perekonomian pada umumnya yaitu Jepang, Korea, Pilipina, Thailand, dan Malaysia yang dimulai dengan menurunnya terhadap dolar Amerika Serikat. Penurunan ini menyebabkan kesulitan bagi perusahaan bahkan perbankan yang mempunyai utang dalam valuta asing karena berarti jumlah utangnya makin besar. Apabila perusahaan atau perbankan tidak memiliki aktiva berupa valuta asing akan mengalami kesulitan.
 Selain investor asing yang menanamkan dana di Indonesia, banyak pula pihak swasta nasional yang membiayai usahanya dengan peminjaman luar negri jangka panjang, menengah dan pendek, dalam mata uang asing. Keadaan krisis di negara-negara Asia akhirnya menular ke Indonesia dimana kurs rupiah terhadap dolar Amerika turun. Hal ini terjadi karena kemudian banyak investor yang menarik kembali dana valuta asing dari perusahaan dan bank.
Pemerintah mempertimbangkan bahwa kalau keadaan tersebut berlangsung terus maka akan dapat menguras cadangan devisa yang sudah menipis dan pada akhirnya akan mengancam posisi Indonesia dalam menjaga likuiditas internasional. Untuk mengatasi keadaan ini maka Pemerintah mengambil langkah dengan memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran pada bank umum. Sebagai pelaksanaan jaminan Pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank dan dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN. Pertimbangan dari pembentukan badan khusus ini adalah sebagai berikut:
                                 i.            Bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
                               ii.             Bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk perbankan;
                              iii.            Bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional, dibidang perdagangan barang dan jasa diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan dibidang perekonomian, khususnya sector perbankan;
                             iv.            Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c diatas dipandang perlu mengubah UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998.

2.       Wewenang BPPN
Ketentuan yang relevan dalam hal ini adalah wewenang yang diberikan UU Nomor 10 Tahun 1998 sebagai berikut:
                                                          i.            Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang rapat Rapat Umum Pemegang Saham
                                                         ii.            Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang direksi dan komisaris bank
                                                       iii.            Menguasai, Mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun luar negeri
                                                       iv.            Meninjau ulang membatalkan, mengakhiri dan mengubah kontrak yang mengikat bank pada pihak ketiga , yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank
                                                        v.            Menjual atau mengalihkan kekayaan bank, direksi, komisaris, dan pemegang saham tertentu, didalam negeri ataupun diluar negeri , baik secara langsung maupun melalui penawaran umum
                                                       vi.            Menjual atau mengalihkan tagihan bank dan menyerahkan pengelolaanya kepada pihak lain tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur
                                                     vii.            Mengalihkan pengelolaan kekayaan dan manajemen bank kepada pihak lain
                                                    viii.            Melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui konversi tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank
                                                       ix.            Melakukan pengosongan atas tanah dan bangunan milik atau yg menjadi hak bank yang kuasai pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang
                                                        x.            Menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam progam penyehatan dan mebebankan kerugian tersebut kepada modal bamk yang bersangkutan dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi / komisaris dan pemegang saham maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan
Di dalam Keppers No 27 Tahun 1998 disebutkan lagi tugas BPPN antara lain sebagai berikut:
                                                         i.            Meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris dan pemegang saham menandatangani seegala bentuk dokumen yan bersifat mengikat yang diperlukan guna keperluan penyehatan bank yang dimaksud, dan ,emjamin pengambilan jaminan baik yang akan, sedang atau telah dicairkan;
                                                       ii.            Dalam hal BPPN menilai bank dalam penyehatan tidak dapat disehatkan kembali, BPPN melakukan pengamanan dan penyelamatan kekayaan bank yang bersangkutan;
                                                      iii.            Menguasai, menjual, mengalihkan, dan atau melakukan tindakan lain yang seluas-luasnya atas suatu hak kekayaan milik bank yang berada pada pihak ketiga di dalam maupun di luar negri;
                                                     iv.            Meminta kepada pemegang saham yang terbukti ikut serta baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan timbulnya kerugian bank untuk sepenuhnya bertanggung jawab atas kerugian tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
3.       Mediasi Berdimensi Hukum Publik
Untuk membantu proses percepatan usaha restrukturisasi utang swasta dibentuklah Satuan Tugas Prakarsa Jakarta (STPJ). STPJ  berperan sebagai:
a.       Mediator antara para debitor dan kreditor dalam negosiasi restrukturisasi utang;
b.      Fasilitator dalam pemberian kemudahan dibidang tertentu (regulatory incentive) dalam rangka restrukturisasi utang.
STPJ melaksanakan tugasnya berdasarkan suatu kerangka kerja yang disebut “Mediasi Terstruktur” yaitu suatu proses dengan suatu batasan waktu yang telah disepakati. Mediasi dapat dikatakan sebagai pilihan penyelesaian masalah di luar pengadilan yang dipilih sebagai opsi dari Pemerintah untuk memaksimalkan pengembalian uang Negara.
4.       Analisa
Penyelesaian sengketa bidang ekonomi dan keuangan terjadi antara debitor dan kreditor. Pada saat perjanjian-perjanjian diadakan diantara kedua belah pihak. Perjanjian-perjanjian tersebut tunduk pada asas-asas, antara lain, asas Pacta Sunt Servanda, asas kebebasan mengadakan perjanjian, asas keseibangan, asas persamaan, asas itikad baik. Perjanjian yang sudah mempunyai kekuatan meningkat tidak boleh dirubah secara sepihak kecuali ditentukan undang-undang.
Didalam perjalanan waktu terjadi perubahan keadaan yaitu krisis ekonomi/keuangan yang dapat mengakibatkan ekonomi Negara menjadi runtuh. Karena itu untuk mengatasinya kepada kreditur (BPPN) diberikan wewenang khusus (publik). Berdasarkan wewenang itu BPPN merubah perjanjian semula menjadi perjanjian bentuk baru seperti MSAA, MRNIA dan PKPS-PU. Wewenang yang diberikan undang-undang kepada BPPN itu melanggar sistem yang berlaku.

Daftar Pustaka:
        I.            Prof. Dr. Mariam Darus, SH., Perjanjian Kredit Bank, Alumni, 1978, hlm. 153
      II.            Pusat Pengkajian Hukum & Mahkamah Agung, Perjanjian-Perjanjian Dalam Rangka Restrukturisasi, Lokakarya Terbatas. Juli 2002

Nama Kelompok:
1.       Anissa El Husna
2.       Eka Ernawati
3.       Fitriyah
4.       Syahrul Ramadhan
Kelas 2EB12