ANALISIS MENGENAI CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Hj. MUSKIBAH, S.H., M.H.
ISI:III
1 ABSTRAK Secara faktual dalam kehidupan sehari-hari selalu
terjadi atau timbul sengketa konsumen. Secara yuridis proses penyelesaian
sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat
ditempuh dengan menggunakan jalur litigasi (melalui pengadilan) dan jalur non
litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi dilakukan oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan cara Mediasi, Konsiliasi, dan
Arbitrase. BPSK tidak dapat berperan aktif dalam penyelesaian sengketa
konsumen, hal ini disebabkan substansi pengaturan, prosedur dan mekanisme
penyelesaian sengketa banyak mengandung kelemahan dan saling bertentangan
sehingga BPSK tidak dapat berperan banyak dalam penyelesaian sengketa konsumen,
terutama yang menyangkut keberatan mengenai putusan konsiliasi atau mediasi,
serta penetapan eksekusi sama sekali belum ada pengaturannya. Keywords: .
Penyelesaian, Sengketa Konsumen.
I. Pendahuluan
Salah satu masalah yang mendasar dari Undang-Undang Tentang
Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK) adalah ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa konsumen. Untuk menyelesaikan sengketa konsumen, Pasal 45
Ayat (1) UUPK memberikan dua pilihan yaitu menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
Apabila penyelesaian sengketa konsumen dilakukan di luar
peradilan menurut Pasal 52 UUPK adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), dengan cara melalui mediasi, arbitrase,dan konsiliasi.Gugatan
yang sudah diajukan ke BPSK harus ditindaklanjuti oleh BPSK, dan BPSK wajib
memberikan putusan. Putusan tersebut berdasarkan Pasal 56 Ayat (2) UUPK
bersifat final dan mengikat, dengan kata lain tidak dapat dilakukan banding dan
kasasi. Akan tetapi
berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UUPK terhadap putusan tersebut
dapat dimintakan upaya hukum (keberatan) ke pengadilan Negeri.
Peluang mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada
Pengadilan Negeri adalah bentuk campur tangan demikian besar dari lembaga
peradilan umum terhadap penyelesaian sengketa melalui BPSK. Artinya kekuatan
putusan dari BPSK secara yuridis masih digantungkan pada supremasi pengadilan
sehingga tidak benar-benar final. Sementara dalam praktek pengajuan keberatan
atas putusan BPSK di pengadilan Negeri berlaku hukum secara perdata umum,
sehingga menambah panjang proses penyelesaian sengketa konsumen.
Persoalan lainnya adalah dalam eksekusi terhadap putusan
BPSK, agar mempunyai kekuatan eksekusi, putusan BPSK harus dimintakan penetapan
eksekusi ke pengadilan, tetapi aturan mengenai tatacara permohonan eksekusi
terhadap putusan BPSK tersebut belum ada.
Berdasarkan hal itu tulisan ini mencoba membahas, bagaimana
substansi, dan proses mengenai penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UUPK,
guna mewujudkan optimalisasi perlindungan terhadap konsumen.
II. Perumusan Masalah
Masalah yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah berkaitan
dengan upaya untuk mengoptimalisasikan perlindungan terhadap konsumen . Dengan
demikian masalah yang akan dibahas adalah :
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen
berdasarkan UUPK.
2. Bagaimana substansi pengaturan mengenai peran dari Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen.
III.PEMBAHASAN
1. Proses Penyelesaian Sengketa
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi
telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang gerak transaksi
barang dan/atau jasa hingga melintasi batas-batas wilayah suatu Negara. Kondisi
demikian pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen karena
kebutuhannya akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat dipenuhi serta
semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis barang dan/atau jasa
sesuai dengan kemampuannya.
Di lain pihak, kondisi dan fenomena tersebut dapat
mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang.
Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan,
promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian
standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena
kurangnya pendidikan konsumen, dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan
kewajibannya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK), yang mengatur tentang perlindungan terhadap konsumen
menegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa perlindungan konsumen adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Dengan kata lain UUPK secara tegas telah memberikan jaminan
perlindungan terhadap konsumen, jika konsumen dirugikan oleh pelaku usaha.
Penyelesaian sengketa yang terjadi antara konsumen dan
pelaku usaha,dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (melalui pengadilan) dan
jalur nonlitigasi (tidak melalui pengadilan).Penyelesaian, melalui lembaga
litigasi dianggap kurang efisien baik waktu, biaya, maupun tenaga,sehingga
penyelesaian melalui lembaga non litigasi banyak dipilih oleh masyarakat dalam menyelesaikan
sengketa dimaksud. Meskipun demikian pengadilan juga tetap akan menjadi muara
terakhir bila di tingkat non litigasi tidak menemui kesepakatan2. Sebagai
lembaga yang berwenang menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dengan konsumen, BPSK dalam kewenangannya dapat menempuhnya dengan cara
mediasi, konsiliasi atau arbitrase. UU perlindungan konsumen tidak
mendefinisikan apa itu mediasi, konsiliasi atau arbitrase di bidang
perlindungan konsumen. Hal ini kemudian dijelaskan lebih jauh dalam Keputusan
Menperindag No. 350 Tahun 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK. Dalam Kepmen
tersebut, mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan dengan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan
kepada para pihak. Proses konsiliasi mirip dengan mediasi. Bedanya, dalam
proses konsiliasi, BPSK hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa.
Sementara arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.
Berdasarkan Hasil penelitian3, ada beberapa kendala utama
yang dihadapi BPSK dalam mengimplementasikan UU perlindungan konsumen.
1. Kendala Kelembagaan.
2. Kendala Pendanaan.
3. Kendala Sumber Daya Manusia BPSK.
4. Kendala Peraturan.
5. Kendala Pembinaan dan Pengawasan, dan Rendahnya
Koordinasi antara Aparat Penanggung Jawab.
6. Kendala Kurangnya Sosialisai Terhadap Kebijakan
Perlindungan Konsumen.
7. Kendala Kurangnya Respon Masyarakat Terhadap UU
Perlindungan Konsumen dan lembaga BPSK.
Menurut Susanti4: juga menyinggung problem yang muncul dalam
eksekusi putusan BPSK. Berdasarkan Pasal 54 Ayat (3) UU Perlindungan Konsumen,
putusan BPSK dari hasil konsilitasi, arbitrase,dan mediasi bersifat final dan
mengikat.Final berarti dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan para pihak.
Prinsip res judicata pro vitatate habetur-suatu putusan yang tidak mungkin lagi
untuk dilakukan upaya hukum-dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan
hukum pasti. Berdasarkan prinsip demikian, putusan BPSK mestinya harus
dipandang sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht
van gewijsde). Namun, coba bandingkan prinsip tersebut dengan Pasal 56 Ayat (2)
UU Perlindungan Konsumen.Para pihak ternyata masih bias mengajukan ‘ keberatan’
ke Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari setelah pemberitahuan BPSK. Hal ini
bertentangan dengan sifat putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat.
Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai kekuatan eksekusi,
putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat eksekusi) ke pengadilan. Dalam
praktek, tidak mungkin memintakan penetapan eksekusi karena belum ada peraturan
atau petunjuk tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK. Perma
No. I Tahun 2006 tentang cara pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK pada
hakikatnya hanya mengatur mengenai pengajuan keberatan terhadap putusan BPSK.
Pasal 2 Perma ini menegaskan bahwa yang bias diajukan keberatan adalah terhadap
putusan arbitrase BPSK. Sedangkan keberatan mengenai putusan konsiliasi atau
mediasi, serta penetapan eksekusi sama sekali tidak diatur.
BPSK ini sebenarnya diadopsi dari model Small Claims
Tribunal, dalam tatanan konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian
sengketa konsumen yang diminati.Potensi-potensi tersebut antara lain : BPSK
menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simple
dan fleksibel dengan mekanisme pengadilan yang dimiliki otoritas; perpaduan
ketiga unsure yang seimbang (Konsumen,pelaku Usaha dan pemerintah) dalam BPSK
merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan; BPSK berfungsi
sebagai “ Quasi Pengadilan Plus” (fungsi ajudikasi dan non
ajudikasi); dan berdasarkan konsep yuridisnya BPSK berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten.
Jadi setidaknya jika dijalankan dengan baik BPSK telah memenuhi prinsip
pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa.
Dalam kenyataannya BPSK hingga kini justru semakin
kehilangan pamor. Masyarakat pada umumnya lebih familiar dengan LPKSM semacam YLKI
dari pada BPSK. Di sisi lain Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
kerap’kebanjiran’adauan dari konsumen. Atas aduan ini, YLKI biasanya
memfasilitasi perdamaian antara pelaku usaha dan konsumen yang terkait. Pada
prakteknya, dalam mendamaikan aduan konsumen ini, YLKI secara tidak langsung
telah melakukan konsiliasi dan mediasi layaknya kewenangan BPSK. Dalam tahap
konsiliasi ini, YLKI berusaha mempertemukan pelaku usaha dengan konsumen.
Biasanya sengketa bias selesai di tahap ini. Jika konsiliasi ini gagal, YLKI
masih bias menempuh langkah berikutnya, yaitu mediasi. Dalam tahap ini, YLKI
memberikan nasihat kepada para pihak. Kalau perkaranya tidak terlalu rumit,
biasanya juga berakhir di tahap mediasi ini. Tapi kalau tidak tercapai titik
temu, akan direkomendasikannya ke BPSK6. Dalam konteks sengketa konsumen,
kehadiran BPSK yang dibentuk pemerintah, semestinya bisa menjadi bagian dari
upaya perlindungan konsumen ketika sengketa dengan pelaku usaha. Pemerintah
sebagai institusi pembentuk BPSK rasanya kurang serius dalam pengembangan BPSK
sehingga benar-benar bisa menjadi optimal.Kesan umum yang nampak baik
pemerintah pusat maupun daerah lebih sibuk mengejar dan melayani investor dari
pada memikirkan kepentingan publik termasuk hak-hak konsumen. Diantara
kendala-kendala yang bersifat multidimensi dalam pengelolaan BPSK, terdapat dua
hal yang menjadi sumber persoalan yakni keberadaan peraturan perundang-undangan
dan sumber daya manusia. Kedua persoalan tersebut saling terkait dan
menyebabkan munculnya persoalan-persoalan lain yang mengakibatkan kurang
berperannya BPSK selama ini.
Selain hal tersebut diatas persyaratan bagi anggota BPSK
yang diatur dalam Kepmenperindag RI No. 301/MPP/Kep/10/2001 tentang
Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat BPSK Nampak lebih
mengedepankan aspek formal dari pada kapasitas maupun kompetensinya. Misalnya
saja persyaratan pangkal/ golongan tertentu (minimal Pembina/Iva)bagi anggota
BPSK dari unsur pemerintah seringkali mempersulit dalam pencarian dan
perekrutan orang yang tepat. Pada umumnya pegawai pemerintah di daerah dengan
golongan pangkat tersebut telah menduduki jabatan yang penting. Establish dan
tentunya’ amat sibuk’ dengan tugas dinasnya sehingga sulit terlibat aktif dan
progresif di BPSK. Padahal SDM sangat penting dalam menunjang operasional dan
pengembangan BPSK.
DAFTAR PUSTAKA:
·
Ahmmmadi Miru dan Suratman Yodo, 2005. Hukum
Perlindungan Konsumen, PT. Raja Wali, Jakarta.
·
Aries Kurniawan, 2008, Peranan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kompas 6
Agustus 2008.
·
Al.Wisnubroto, 2009. Alternatif Penyelesaian
Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas, Hukum Online.Com, 9 Mei 2009.
·
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum
Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
NAMA KELOMPOK:
1. ANNISAA EL HUSNA A (20212986)
2. EKA ERNAWATI (22212401)
3. FITRIYAH
(23212020)
4. SYAHRUL RAMADHAN (27212242)
KELAS 2EB12